Tampilkan postingan dengan label Sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekolah. Tampilkan semua postingan

UN 2014, Peran Sekolah Lebih Besar dalam Penentuan Kelulusan

Memasuki tahun baru 2014, kita kembali dihadapkan dengan adanya ujian nasional atau yang akrab dengan sebutan UN. Penegasan adanya UN ini telah ditetapkan dengan adanya Permendikbud Nomor 97 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional. Serta diikuti dengan terbitnya Prosedur Operasi Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun 2013/2014 atau yang dikenal POS UN 2014.
Berdasarkan kedua produk hukum tersebut dijelaskan tentang kriteria kelulusan siswa dalam UN tersebut dengan melihat Nilai Akhir atau NA yang merupakan gabungan Nilai Sekolah (NS) dan Nilai UN. Adapun porsi untuk NS adalah 40% dan UN 60%. Untuk dapat lulus seorang siswa harus memperoleh rata-rata NA minimal 5,5 dan nilai UN minimal tiap mapel UN 4,00. Kriteria tersebut masih sama dengan ketentuan UN 2013 yang lalu. Demikian pula kisi-kisi UN menggunakan kisi-kisi UN 2013 atau tahun pelajaran 2012/2013.
Perbedaan yang ada pada UN kali ini adalah pada proporsi Nilai Sekolah atau NS yang mengambil 30% nilai ujian sekolah (US) dan 70% nilai rata-rata raport. Hal ini berbeda dengan tahun lalu yang menetapakan
NS diperoleh dari 40% nilai US dan 60% nilai rata-rata raport. Dengan demikian peran sekolah dalam penentuan kelulusan mendapatkan porsi yang lebih besar.
Adapun Permendikbud dan POS UN tersebut, bisa anda unduh di sini dan di sini.

Contoh Pengisian EDS Guru Untuk PKB

Implementasi PKG dan PKB bagi guru akan segera dilaksanakan pada 2014 mendatang, hal ini sebagai implementasi dari Permenpan RB Nomor : 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peningkatan jabatan guru ditentukan berdasarkan penilaian kinerja guru (PKG) dan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang lazim disebut PKB.
Langkah awal dalam penentuan PKB yang harus dilaksankan guru diawali dengan pengisian instrumen evaluasi diri (EDS) sebagaimana dikenal dengan Format 1. dalam form ini guru melakukan evaluasi diri untuk mementukkan arah PKB yang harus dilaksanakannya.
Berikut ini contoh pengisian Format 1 atau EDS bagi guru. EDS ini penulis kutip dari sebuah situs di internet. Semoga dengan contoh ini dapat menjadi pembanding ataupun acuan bagi kita untuk pengisian format 1 tersebut. Untuk mengunduh contoh pengisian Format 1 atau EDS dimaksud silakan klik.

Schoolnet Berhenti, Internet Sekolah Macet


Beberapa hari ini para pengguna internet di sekolah dibuat kelabakan. Hal ini meninmpa mereka sekolah penerima program Schoolnet Jardiknas Zona Sekolah. Demikian juga yang kami rasakan. Padahal pembelajaran TIK untuk kelas IX, semua kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah materi internet dan jaringan.

Bahkan karena tidak ada pemberitahuan langsung dari pihak terkait, beberapa sekolah memperbaiki sistem jaringan dan perangkat keras jaringannya. Usut punya usut kami mencoba konfirmasi ke kantor Telkom setempat. Akhirnya barulah kami tahu kalau layanan internet ke sekolah-sekolah tersebut memang dinonaktifkan.

Setelah kami mendapatkan penjelasan dari pihak Telkom dan setelah kita browse informasinya di internet, barulah kami dapat kepastian kalau pemutusan tersebut disebabkan belum adanya MOU baru untuk kontrak bandwidth dengan pihak Telkom. Hal ini setelah berakhirnya kontrak tahun 2010. Sebenarnya sudah ada pemberitahuan tertulis dari pikhak Pustekkom Kemdiknas selaku penanggung jawab program Schoolnet. Namun karena belum sampainya surat pemberitahuan ke pihak sekolah, membuat pihak sekolah kebingungan.

Tentu kondisi ini memprihatinkan bagi sekolah, hal ini mengingat biaya langganan internet dengan bandwith yang memadai hanya bisa dilakukan oleh pihak Telkom. Tentu ini perkara mudah sebenarnya bagi sekolah yang memiliki keuangan memadai. Karenan hanya tinggal mengaktivasi Speedy, beres lah sudah. Namun hal ini memang tak semudah membalik telapak tangan bagi sekolah yang memiliki kendala keuangan. Langganan internet yang memadai untuk mendukung pembelajaran TIK dan juga mapel lain membutuhkan paling tidak kecepatan minimal hingga 1 Mbps yang tentunya kalau kita lirik melalui tarif Speedy nilainya cukup besar tiap bulannya.

Memang ada jalan lain dengan menggunakan modem wireless CDMA yang tarifnya dikenal murah, namun ini bisa terkendala pada besarnya bandwidth dan sinyal operator yang kurang stabil. Bahkan untuk daerah pinggiran sering ditemukan rendahnya sinyal dari operator CDMA tersebut.

Demikianlah kiranya patut bagi pihak terkait untuk memberikan layanan internet dengan biaya murah sehingga bias terjangakau sekolah. Semoga.

Mengenal Pendidikan Inklusi


Salah satu amanat yang diembankan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah terlayaninya seluruh waraga negara dengan laayanan pendidikan yang bermutu. Sehingga siapan warga negara segala potensi yang dimilki harus terakomodir sehingga mampu mengembangkan dirinya.
Dalam kaitan ini, maka ketika seorang peserta didik memiliki kebutuhan akan layanan khusus baik yang memiliki kekurangan baik fisik maupun psikis atau pun yang memiliki kelebihan berupa kecerdasan maupun bakat istimewa harus mendapat layanan yang sesuai. Dalam layanan yang termaktub pada UU tersebut memang semestinya mereka mendapatkan layanan pendidikan khusus.
Namun dari berbagai landasan baik hukum maupun dasar pemikiran lainnya menunjukkan bahawa mereka mestinya memndapatkan layanan sebagaimana dalam layanan pendidikan reguler. Inilah yang kemudian melahirkan pendidikan inklusi.

Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi adalah sebuah proses yang memusatkan perhatian pada dan merespon keanekaragaman kebutuhan semua peserta didik melalui partisipasi dalam belajar, budaya dan komunitas, dan mengurangi ekslusi dalam dan dari pendidikan (UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994; UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar (UNESCO, 2003).
Semua karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik (UNESCO, 2003).

Pentingnya Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005).

Pertimbangan Filosofis
Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).

Langkah-langkah menuju Inklusi Yang Nyata
Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003).

Referensi :
UNESCO (1990), World Declaration on Education for All and Framework for Action to Meet Basic Learning Needs. International Consultative Forum on Education for All. Paris: UNESCO.
UNESCO (1994), The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, World Conference on Special Needs Education: Access and Quality. Paris: UNESCO and the Ministry of Education, Spain. Versi pdf., http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.
UNESCO (2003), Conseptual Paper: UNESCO Inclusive Education, a Challenge and a Vision. http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.

Bab I. Internet dan Intranet

PENDEKATAN EXPERTISE DALAM BANTUAN TEKNIS DI DAERAH


oleh : Erry Otomo, Ph.D.

Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, para pengambil kebijakan di daerah dan para pendidik selama ini telah berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada setiap satuan pendidikan untuk menghasilkan lulusan (school leavers) seperti diamanatkan dalam UUD 1945, yaitu manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, terampil, dan berahlak mulia. Euphoria desentralisasi pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000 masih belum menunjukkan hasil optimal, seperti yang dijelaskan dalam studi otonomi sekolah di Indonesia bahwa “… teachers and administrators are currently enjoying a degree of autonomy previously denied them, but the impact of the school reform has yet to produce any meaningful changes in terms of the quality of education” (Bjork, 2001; Yeom, Acedo, & Utomo, 2002).


Usaha perbaikan kualitas pendidikan ini terwujud sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mendiknas No. 33/MPN/SE/2007 tertanggal 13 Pebruari 2007 tentang pembentukan Tim Pengembangan Kurikulum (TPK) yang ditujukan pada semua unit utama di lingkungan Depdiknas, semua gubernur, dan semua Bupati/Walikota bahwa semua sekolah diharapkan paling lambat pada tahun ajaran 2009-10 harus sudah menetapkan dan menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan perwujudan pelaksanaan Permendiknas (No. 24/2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No.22/2006 tentang Standar Isi satuan pendidikan dasar dan menengah dan Permendiknas No.23/2006 tentang Standar Kemampuan Lulusan). Pembentukan tim sosialisasi KTSP yang dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota tidak semata-mata karena keterbatasan Pusat Kurikulum dalam memberikan bantuan profesional melalui pendampingan (mentoring) kepada guru di seluruh provinsi pada ± 461 kab/kota, namun pembentukan didasarkan pada pentingnya pembentukan “build –in curriculum mechanism” melalui membuat task force di daerah sebagai Think-tank pada setiap level dimulai dari tingkat sekolah, kab/kota, provinsi sampai pada tingkat pusat. Pembentukan Tim Sosialiasi KTSP yang selanjutnya menjadi Tim Pengembang Kurikulum bertugas tidak saja mensosialisasikan Permendiknas No. 22 & 23/2006 kepada sekolah-sekolah lainnya, namun juga melakukan pendampingan kepada guru di satuan pendidikan, melakukan supervisi klinis, dan pemantauan serta penilaian pelaksanaan kurikulum di sekolah untuk perbaikan di masa mendatang.

Kajian topik ini secara umum memberikan wawasan bahwa pembaharuan drastis yang menuntut sekolah melakukan pengembangan kurikulum tidak semata-mata yang menurut Fullan (1993, 1999) melakukan ”restructuring” tetapi yang lebih penting ialah ”reculturing” terhadap perubahan ”beliefs & habits” guru (Fullan, 2001). Secara khusus yaitu menyajikan pendekatan profesional (professional approach) terhadap kemampuan expertise guru/pengawas dan unsur lainnya yang terlibat dalam TPK. Professional development perlu mempertimbangkan penguasaan materi pelajaran bagi guru terutama dalam pengembangan perangkat kurikulum, karena kurikulum secara hakikatnya disusun secara sistematis, hirarkis berdasarkan falsafah keilmuaan masing-masing bidang kajian. Standar nasional isi yang minimal harus dicapai peserta didik dari Sabang--Merauke merupakan standar “excellence, accountability” yang tentunya harus dipenuhi oleh sekolah. Tuntutan standar isi yang harus dikuasai oleh peserta didik ini menurut Apple (2001) sebagai “official knowledge” (Apple, 2001. Educating the “Right’ Way). Selanjutnya, bagaimana kita dapat meningkatkan bantuan profesional ini melalui pendekatan expertise ini?

Kita menyadari bahwa kajian kurikulum merupakan inti dari pendidikan seperti diungkapkan oleh Eisner (1984)”the field of curriculum…resides at the very core of education” (dalam Pinar dkk, 1996). Peningkatan kualitas pendidikan memerlukan perubahan mendasar secara fundamental terutama mengenai apa yang siswa pelajari dan bagaimana mereka belajar. Bila siswa diharapkan mencapai standar isi nasional sebagai minimum learning acquired pada setiap satuan pendidikan, guru perlu membantu siswa mencapai standar yang telah ditetapkan. Guru merupakan titik sentral dalam pembaharuan pendidikan dimana mereka harus memenuhi kualitas standar pendidikan untuk anak didiknya. Seperti di ungkapkan Cuban (1990) “Teachers are necessarily at the center of reform, for they must carry out the demands of high standards in the classroom.” Oleh karena itu, keberhasilan pembahuan pendidikan (educational reform) sebagian besar dipengaruhi oleh peran guru yang efektif dan berkualifikasi pendidikan tinggi sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan. Bertitiktolak dari alasan tersebut dan kajian beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengembangan profesi guru (teacher professional development) merupakan sentra utama dalam sistem pembaruan pendidikan (Corcoran, 1995; Corcoran, Shields, & Zucker, 1998). Untuk melaksanakan apa yang dituntut dalam pembaharua pendidikan, guru harus terlibat dalam pengembangan mata pelajaran yang diajarkan dan memiliki kemampuan (ability) baik dalam menyampaikan pengetahuan dasar (basic knowledge) maupun mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi (advanced thinking) dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving-skills) kepada peserta didiknya (Loucks-Horsley, Hewson, Love, & Stiles, 1998; National Commission on Teaching & America’s Future, 1996). Hal pokok dalam elemen pembaharuan pendidikan, seperti pencapaian standar, pengembangan kurikulum, dan pendekatan baru penilaian yang disesuaikan dengan standar, ini semua berkorelasi signifikan pada tuntutan baru pada performansi guru kelas (teachers’ classroom behaviors) dan performasi peserta didik (student performance) (Baybee, 1993; National Council of Teachers of Mathematics, 1991; National Research Council, 1996; Webb & Romberg, 1994). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa guru belum sepenuhnya memenuhi kualifikasi sesuai dengan tuntutan standar seperti yang diuraikan dalam standar kemampuan dan standar isi yang ditetapkan secara nasional.

Pelaksanaan bantuan profesional (professional development) kepada Tim Pengembangan Kurikulum di daerah selama ini adalah meningkatkan kualitas guru dan tenaga edukatif lainnya baik dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan maupun pelaksanakannya di tingkat kelas. Kajian penelitian di negara lain menunjukkan bahwa tuntutan guru mengajar harus mengacu standar nasional, namun guru masih belum dipersiapkan untukbagaimana mengajar sesuai dengan kualifikasinya “However, although teachers generally support high standards for teaching and learning, many teachers are not prepared to implement teaching practices based on high standards (Cohen, 1990; Elmore & Burney, 1996; Elmore, Peterson, & McCartney, 1996; Grant, Peterson, & Shojgreen-Downer, 1996; Sizer, 1992). Selanjutnya, pengembangan profesional (professional development) merupakan topic kajian penelitian yang selalu berkembang selama hampir sepuluh tahun ini berkaitan dengan aspek pembelajaran guru (teacher learning) dan perubahan guru (teacher change). Namun demikian, penelitian yang berkaitan dengan pengembangan profesional yang bermutu tinggi (high-quality professional development) masih sangat terbatas. Beberapa studi yang relevan menyarankan bahwa pengalaman dalam pembinaan profesional sangat bermanfaat terutama terhadap pengaruh positif cara guru mengajar dalam kelas dan kemampuan siswa (Bybee, 1993). Untuk itu, perlu kita cermati hasil studi terutama manfaatnya dalam upaya kita untuk lebih memantapkan program pemberdayaan TPK di daerah melalui pengembangan profesional. Salah satu hasil studi yang melibatkan 1027 guru Matematika dan IPA serbagai nasional probabilitas sampel menyajikan informasi empirik tentang pengaruh pembinaan profesional pada guru (American Educational Research Journal, Winter 2001, Vol. 38, No. 4, hal. 915-945). Studi menunjukkan tiga gambaran aktivitas pembinaan profesional yang sangat signifikan dengan efek positif guru berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan, dan perubahan dalam pembelajaran di kelas, yaitu: (a)pengetahuan tentang materi pelajaran; (b)belajar aktif (active learning), dan (c)konsistensi dengan kegiatan pembelajaran lain. Selanjutnya, studi menyarankan bahwa pembinaan profesional perlu mempertimbangkan hal-hal seperti:(a)bentuk aktivitas pembinaan, antara lain: workshop, studi kelompok; (b)partisipasi kelompok guru lebih efektif apabila guru yang terlibat dalam pembinaan tersebut berasal dari sekolah, tingkatan kelas dan atau mata pelajaran yang relatif sama; dan (c)lamanya pembinaan yang dilakukan. Beberapa hal menarik dari studi tersebut dapat diuraikan berikut. Pertama, “best practice” pembinaan profesional dilakukan secara berkelanjutan dan intensif yang dapat memberikan manfaat bagi guru dibandingkan pembinaan secara singkat. Oleh karena itu disarankan agar pembinaan profesional perlu memfokuskan pada pemahaman materi pelajaran dan memberikan kesempatan guru untuk melakukan hands-on work dan pengalaman ini harus diintegrasikan secara konsisten pada kenyataan keseharian di sekolah/kelas. Hal ini secara langsung menghasilkan pengetahuan dan pengalaman langsung bagi guru yang sangat bermakna (Journal for Research in Mathematics Education, 27(4), hal. 403-434). Kedua, implikasi studi juga menjelaskan pentingnya pemahaman terhadap materi pelajaran dan partisipasi kolektif dan kesatuan aktivitas pembinaan profesional yang berarti bahwa aktivitas/kegiatan dalam upaya pembaharuan (reform efforts) dalam bentuk peningkatan komunikasi profesional (professional communication) antarguru sangat mendukung perubahan, seperti dalam cara mengajar guru.

Mencermati hasil kajian studi tersebut di atas memberikan pengalaman empirik yang selanjutnya dapat kita refleksikan dalam pelaksanaan pembinaan bantuan teknis yang kita lakukan selama ini. Pemahaman guru terhadap materi pelajaran sangat signifikan dengan kemampuan mereka terutama dalam pengembangan dokumen kurikulum termasuk didalamnya silabus dan perangkat kurikulum lainnya. Pemahaman materi pelajaran yang oleh Schulman (1987) disebut sebagai “pedagogical content knowledge” perlu dikuasai dengan baik sesuai kaidah keilmuan dan benar dipergunakan dalam praktek kehidupan. Selanjutnya, penyajian materi kepada peserta didik perlu dikemas sedemikian rupa sesuai dengan metodologi pembelajaran yang sesuai dengan memperhatikan bagaimana seharusnya siswa belajar (ways students learn), seperti: konsepsi awal siswa terhadap materi pelajaran (common student preconceptions), kesalahan konsep (misconceptions), dan strategi pemecahan masalah untuk mata pelajaran tertentu. Pentingnya hal tersebut didukung pula dari pendapat beberapa ahli yang menyebutkan bahwa pengembangan profesional memerlukan fokus ganda, yaitu pengetahuan isi materi pelajaran (knowledge of subject matter content) dan pemahaman tentang bagaimana cara siswa memahami spesfik materi pelajaran “…knowledge of the subject to select tasks that encourage students to wrestle with key ideas and knowledge of students’ thinking to select tasks that link with students’ experience and for which students can see the relevance of the ideas and skills they already posses.” (Hiebert, dkk, 1996. hal. 16). Selain kemampuan tersebut, pembinaan profesional juga perlu memberikan kesempatan pada guru/TPK untuk melakukan kegiatan dalam bentuk pengembangan profesional (professional development activity), seperti keterlibatan dalam diskusi bermakna (meaningful discussion), melakukan perencanaan pembelajaran, dan praktek (baik dalam bentuk pengamatan cara mengajar guru yang berpengalaman maupun melakukan pratek pembelajaran di kelas), merencanakan materi pembelajaran, dan melakukan kajian penggunaan metode baru pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang disusun, serta melakukan kajian hasil kerja/karya siswa yang dapat digunakan sebagai bahan umpan-balik perbaikan kurikulum pada umumnya khususnya penyempurnaan cara pembelajaran. Pendekatan expertise dalam pembinaan TimPengembang Kurikulum di daerah ini memberikan pembelajaran bagi kita semua terutama dalam meningkatkan profesionalitas melalui professional development bantuan teknis. Hal ini memiliki konsekuensi logis terutama bagi Pusat Kurikulum di tingkat pusat untuk dapat lebih mempersiapkan baik materi/bahan kajian yang sesuai dengan kebutuhan konkrit di tingkat sekolah maupun penyiapan sumber daya manusianya. Sehingga harapan pembentukan tenaga profesional di tingkat daerah dan juga di tingkat sekolah dalam wadah built-in curriculum mechanism dapat memberikan bantuan profesional bagi guru lain pada setiap satuan pendidikan sehingga dapat diwujudkan kemajuan peserta didik seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan dapat berkompetisi secara global dan berahlak mulia. (EU-032709)

Wawasan Wiyata Mandala

1. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan.
2. Kepala sekolah memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh atas penyelnggaraan pendidikan dalam lingkungan sekolahnya.
3. Antara guru dan orang tua siswa harus ada saling pengertian dan kerjasama erat untuk mengemban tugas pendidikan.
4. Para warga sekolah di dalam maupun di luar sekolah harus senantiasa menjunjung tinggi martabat dan citra guru.
5. Sekolah harus bertumpun pada masyarakat sekitarnya dan mendukung antar warga.



Banyak Ortu Belum Sadar Pentingnya PAUD

Orang tua di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), hingga sekarang belum menyadari makna penting pendidikan anak usia dini (PAUD).

"Banyak orang tua yang tidak paham tentang PAUD, sehingga mereka tidak terlalu peduli memasukkan anaknya ke PAUD," kata Wakil Ketua Forum PAUD Kota Yogyakarta, Tri Kirana Muslidatun, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, orang tua masih berpikiran sempit, karena PAUD dinilai hanya sekadar tempat bermain tanpa memberikan pelajaran berarti untuk kepentingan perkembangan anak.

Padahal, katanya yang juga menjadi Ketua Panitia Peringatan Hari Anak Nasional di Kota Yogyakarta, PAUD memiliki kurikulum khusus yang disesuaikan untuk meningkatkan perkembangan kecerdasan anak usia satu hingga enam tahun.

"Yang terjadi justru, anak-anaklah yang terlihat antusias mengikuti PAUD. Mereka sudah hafal jadwal masuk di PAUD dan datang mengikuti seluruh kegiatan di PAUD," katanya Tri.

Kota Yogyakarta memiliki 614 satuan PAUD sejenis PAUD (SPS PAUD) di setiap rukun warga (RW) dengan jumlah relawan pendidik 3.200 orang.

Ia mengatakan, sebanyak 80 persen dari total 23.400 anak yang mengikuti PAUD berasal dari keluarga menengah ke bawah, sedangkan 30 persen SPS PAUD di wilayah yang kondisi masyarakatnya menengah ke bawah.

"Jumlah anak di Kota Yogyakarta mencapai 29 ribu orang, sehingga diharapkan anak yang tidak masuk SPS PAUD mendapatkan akses mengikuti ’play group’ (kelompok bermain)," kata Tri.

Tri mengatakan, seluruh anak yang mengikuti SPS PAUD tidak dikenakan biaya apa pun, karena pemerintah kota telah memberikan bantuan dana untuk kegiatan PAUD seperti pengadaan alat peraga edukatif dan konsumsi.

Ia berharap jumlah relawan pengajar PAUD bisa diperbanyak, sehingga mendekati ideal, yaitu satu relawan menangani maksimal empat anak, karena sekarang ini satu relawan mengajar tujuh anak.

Wakil Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, anak perlu diberi ruang dan kesempatan yang cukup untuk berkreasi, termasuk diberi fasilitas pendidikan untuk persiapan menghadapi tantangan masa depan.

Meski demikian, katanya, peran orang tua juga harus ditingkatkan terutama dalam pengawasan anak dalam konsumsi media massa terutama iklan.

"Saya baru saja mendapat cerita, ada anak sakit karena meminum minyak goreng setelah terpengaruh iklan yang bisa menjernihkan pikiran," katanya
sumber kompas.com/home/edukasi/news/

MEMBANGUN KOMITMEN AWAL TAHUN PELAJARAN


Setiap tahun pelajaran baru sebuah sekolah harus memersiapkan berbagai perencanaan guna pencapaian target kegiatan sekolah dalam satu tahun yang akan dijalani. Dalam upaya pelaksanaan kurikulum di sekolah, sekolah harus mempersiapkan berbagai rumusan yang dibutuhkan dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP. Beberapa data yang dibutuhkan salah satunya adalah target pencapaian kompetensi hasil belajar siswa.
Kompetensi dapat berupa penguasaan pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap perilaku positif yang dapat dipertanggung jawabkan dan menjadi teladan bagi yang lain. Agar seluruh unsur di sekolah khususnya siswa dan guru memiliki pola kerja dan perencanaan yang baik dalam pencapaiannya, perlu ditegaskan komitmen bersama untuk itu.

Komitmen bersama antara siswa dan guru dapat diwujudan dengan langkah awal penyampaian standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)yang harus dicapai. Hal ini perlu penulis ingatkan karena langkah ini nampakya jarang dilakukan -guru khususnya-pada kegiatan awal pembelajaran di tahun pelajaran baru.
Dengan penyampaian SK dan KD di hadapan siswa maka pola maupun maupun mainset siswa terbentuk untuk melakukan berbagai persiapan seperti mencari sumber belajar, pegamatan lapangan, maupun menunjangnya dengan informasi pendukung yang akan memperkaya wawasan dan pengetahuan yang semestinya akan dicapai. Setiap langkah yang akan dijalani dalam proses pembelajaran sudah terantisipasi dengan baik. Ini tentunya akan meningkatkan suasana pembelajaran yang enjoyable baginya. Semakin ternikmati proses pembelajaran, akan semakin konsentrasi terjaga sehingga kompetensi yang dharapkan tercapai dari setiap proses pembelajaran yang dilakukan.

Penetapan KKM

Selain penyampaian SK dan KD, hal lain yang tak kalah pentignya adalah penyampaian KKM atau kriteria ketuntsan minimal dari setiap mata pelajaran. Dengan penyampaian KKM di awal setiap siswa akan mengetahui tingkat pencapaian kompetensi yang diharapkan. Hal ini akan memacu motivasi dalam belajar baik di kelas maupun dalam kegiatan belajar di rumah.
Adapun rambu-rambu dalam penyusunan KKM adalah :
1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran
2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah
3. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0 – 100
4. Nilai ketuntasan belajar maksimal adalah 100
5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah nilai ketuntasan belajar maksimal
6. Nilai KKM harus dicantumkan dalam LHBS
Demikian sebagian kecil komitmen yang harus dibangun agar tersusun program sekolah yang bermutu dan proses realisasi hingga pengendaliannya akan jelas sehingga kinerja sekolah pun terarah guna mencapai apa yang telah diharapkan bersama. Semoga.

Keefektifan Sekolah Tak Ditentukan oleh Sebutan


SEMARANG-Salah satu cara alternatif yang dipandang bisa meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan membuka sekolah-sekolah unggulan. Ada beberapa model sekolah unggulan, yaitu sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah standar nasional (SSN), dan rintisan sekolah standar nasional (RSSN).



SAda juga sekolah penyelenggara kelas akselerasi, kelas bilingual, kelas imersi, serta kelas cerdas istimewa dan bakat istimewa (CI-BI), sekolah dengan calon siswa memiliki skor akademik tinggi, dan sekolah dengan fasilitas serba mewah.



SDekan FMIPA Unnes Drs Kasmadi Imam Supardi MS yang akan menempuh ujian doktornya pada Prodi Manajemen Pendidikan Unnes memaparkan, masyarakat menaruh harapan besar terhadap berdirinya sekolah unggulan. Pasalnya, mereka menganggap kualitas pembelajarannya lebih baik dari sekolah lain.



S"Namun ternyata keefektifan sekolah tidak ditentukan oleh sebutan yang diberikan masyarakat dan pemerintah, tapi ditentukan oleh seberapa besar tujuan sekolah yang telah direncanakan dan dicapai."


SFaktor Penentu Pria kelahiran Pati 15 November 1951 itu menjelaskan, banyak faktor yang menetukan keefektifan sekolah dan prestasi akademik menjadi faktor yang sangat penting. Karena itu, dosen yang juga aktif berorganisasi tersebut menggunakan prestasi akademik sebagai parameter keefetifan sekolah dalam penelitiannya.



SDisertasinya yang berjudul "Kefektifan Sekolah Menengah Pertama Standar Nasional (SSN) Negeri di Kota Semarang dalam Masa Otonomi Daerah" akan diuji pada tanggal 9 Juli mendatang.



SAdapun faktor-faktor yang digunakan sebagai variabel eksogen ialah kesehatan sekolah, SDM, sarana-prasarana, dan peran serta masyarakat. "Tujuannya adalah agar dapat menentukan besaran (koefisien) pengaruh kesehatan sekolah, SDM, sarana-prasarana, dan peran serta masyarakat terhadap prestasi akademik."



SKasmadi merekomendasikan dua model untuk meningkatkan keefektifan sekolah. Pertama adalah melalui peningkatan pencapaian skor indikatornya yang memberikan sumbangan terbesar, yaitu pemimpin memadai, organisasi tepat, serta persentase lulusan. "Yang kedua adalah meningkatkan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap prestasi akademik, yaitu SDM."


sumber : suara merdeka

Sekolah Gratis Belum Siap


SEMARANG - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang mengumpulkan data untuk model pendidikan gratis. Pengumpulan data di Jawa Tengah dilakukan sejak Senin (29/6) sampai 18 Juli. Diharapkan, data itu bisa menjadi bahan untuk menyusun model pelaksanaan sekolah gratis yang efektif sesuai dengan karakteristik provinsi dan kabupaten/kota.


Namun Sekretaris Komisi E DPRD Jawa Tengah Tonthowi Jauhari menilai kebijakan pengumpulan data untuk model sekolah gratis membuktikan pemerintah belum siap melaksanakan program itu. ”Sudah disosialisasikan, ternyata belum siap. Terbukti, data apa yang digratiskan baru dikumpulkan. Berarti belum siap,” kata dia, kemarin.



Dalam surat itu ada tujuh data/informasi yang dibutuhkan dari dinas pendidikan. Data itu mencangkup rencana strategis pendidikan, peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah tentang pendidikan gratis, perhitungan biaya satuan pendidikan bagi pendidikan dasar di daerah, peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah atau peraturan lain yang mengatur alokasi bantuan pendidikan siswa pendidikan dasar di setiap sekolah.

Selain itu, peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah atau peraturan lain tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan, peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah atau peraturan lain tentang struktur organisasi, serta tugas dan fungsi serta dinas lain yang berkait dengan penerimaan anggaran pendidikan gratis serta profil pendidikan daerah. Dia menyatakan sejak semula tak yakin program sekolah gratis bisa lancar. Sebab, program itu terbilang dadakan, tanpa persiapan pembahasan komponen apa saja yang bakal digratiskan.


Dia menyatakan sebelum Departemen Pendidikan Nasional mendeklarasikan program pendidikan gratis, harus jelas dulu penerapan program itu. Dia menilai program pendidikan gratis dari pemerintah pusat hanya komoditas kampanye sebelum pemilihan presiden. ”Program itu syarat nilai politis.” (H37,H7 -53)


Kebanggaan Bergelar Sekolah Berstandar


Salah satu topik berita yang hingga kini masih hangat dalam dunia pendidikkan kita adalah adanya Sekolah Standar Nasional (SSN). Sejak tahun 2004 dan mulai tahun ini bertambah lagi jumlah sekolah (SMP) yang menjadi SSN, di kabupaten Brebes mulai tahun pelajaran 2008/2009 telah bertambah menjadi 9 (sembilann) unit SSN. Bahkan kini salah satunya telah meraih status sebagai RSBI (Rintisan sekolah Bertaraf Internasional). SSN yang ada di Brebes adalah :

  • SMP Negeri 1 Brebes

  • SMP Negeri 2 Brebes
  • (sekarang RSBI)
  • SMP Negeri 3 Brebes

  • SMP Negeri 1 Bumiayu


  • SMP Negeri 1 Tonjong

  • SMP Negeri 1 Paguyangan

  • SMP Negeri 1 Larangan

  • SMP Negeri 1 Tanjung

  • SMP Negeri 1 Kersana

  • Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan patut kita acungi jempol. Kebijakan yang diambil melalui berbagai tindakan nyata telah dapat kita saksikan dan rasakan. Mulai dari penerbitan payung hukum hingga peningkatan anggaran subsidi untuk pendidikan. Semua ini bermuara pada peningkatan mutu pendidikan nasional kita.
    Mutu Pendidikan Prioritas Pembangunan
    Salah satu kebijakan guna meningkatkan mutu ini direalisasikan dengan penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana pada PP Nomor 19 Tahun 2005 sebagai barometer patokan suatu pendidikan yang bermutu. Hal ini sebagaimana yang termaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam amanat yang ditegaskan pada pasal 35 UU tersebut pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjaga mutu pendidikan. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan suatu contoh gambaran tentang SNP. Terkait hal ini maka pemerintah menunjuk beberapa sekolah yang telah memenuhi persyaratan sebagai contoh aplikasi SNP yang direalisasikan dengan adanya Sekolah Standar Nasional atau yang lazim disebut SSN khususnya pada jenjang SMP.
    Prosedur penunjukkan SSN melalui suatu proses yang ketat dan selektif. Setelah melalui suatu penelitian terhadap sekolah yang telah memenuhi persyaratan umum seperti : perolehan nilai rata-rata ujian nasional atau sekolah yang menjadi piloting proyek MPMBS kemudian dilakukan verifikasi langsung untuk memastikan kondisi yang ada sesuai dengan profil sekolah. Selanjutnya sekolah yang telah lolos persyaratan umum mengajukan proposal dalam bentuk Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Langkah berikutnya penilaian terhadap RPS yang telah diajukan menentukan lolos dan tidaknya menjadi SSN. Apabila penilaian terhadap RPS ternyata telah memenuhi kriteria yang ditetapkan maka pemerintah menetapkan sekolah tersebut sebagai SSN.
    Apa dan bagaimana SSN ?
    Setelah sebuah sekolah ditetapkan sebagai SSN tentu menjadi suatu kebanggan tersendiri. Menyandang gelar SSN adalah kebanggaan bagi warga sekolah termasuk para stakeholder tentunya. Namun dibalik kebanggan tersebut ternyata masih sering berselimutkan berbagai tanya dan duga.
    Tidak mengherankan bagi warga sekolah yang telah menyandang SSN seperti siswa bahkan guru di suatu sekolah tersebut masih bertanya apa itu SSN. Masalah ini tentu saja akan berdampak besar bagi proses pembelajaran di suatu SSN. Oleh karena itu diperlukan suatu ingatan bagi siapa saja terutama adalah yang telah menyandang gelar SSN, hal ini tentu penting agar kebanggaan yang dimiliki tidak menjadi kebanggaan semu. Sehingga signifikan antara kebanggaan dengan realita yang ada di sebuah SSN.
    Bertolak dari pertanyaan tersebut dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan SSN adalah sekolah yang telah memenuhi SNP, yaitu sekolah yang telah dapat memenuhi layanan seperti yang dituntut dalam ketentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sehingga diharapkan mampu memberikan layanan yang memenuhi standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang memenuhi standar nasional. Karena itulah SSN berfungsi sebagai model bagi sekolah-sekolah yang ada dilingkungannya dalam penyelenggaraan sekolah yang sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan secara nasional (Depdiknas:2005).
    Sebagai model maka ada satu tuntutan bahwa SSN harus segera berbenah diri karena ia akan jadi panutan sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya. Karena itulah idealnya setiap kabupaten/kota hendaknya terdapat minimal satu SSN. Sehingga setiap kabupaten/kota memiliki satu sekolah mercusuar yang kemudian menjadi ikutan dalam penyelenggaraan sekolah yang mengacu pada SNP.
    SSN Belum 100% Mapan
    Dari pemahaman tentang SSN maka sangat mungkin di satu kabupaten terdapat lebih dari satu sekolah yang memenuhi kriteria sebagai SSN. Sebaliknya dapat terjadi di suatu kabupaten/kota tidak ada sekolah yang memenuhi kriteria sebagai SSN. Padahal sebagai rintisan idealnya setiap kabupaten/kota memiliki satu SSN. Dari kemungkinan-kemungkinan ini pemerintah mengambil prinsip kebijakan yang kedua, yaitu walaupun belum memenuhi standar yang ditetapkan SPM , sekolah dapat ditetapkan SSN jika telah memenuh sebagian besar SPM dan diyakini akan segera dapat mencapai standar yang ditetapkan SPM. Dengan kebijakan ini diharapkan setiap kabupaten/kota akan memiliki setidaknya satu SSN (Depdiknas:2005).
    Bertolak dari hal ini maka suatu sekolah yang telah menyandang gelar SSN belum tentu sudah perfect dalam memenuhi SPM. Sehingga pembenahan dan pembedahan disana-sini harus segera dilakukan guna melengkapi kriteria yang dituntut SPM meliputi 3 (tiga) komponen. Pertama, komponen input seperti : tenaga kependidikan, kesiswaan, sarana dan pembiayaan. Kedua, komponen proses meliputi kurikulum dan bahan ajar, proses belajar mengajar dan penilaian, dan aspek manajemen dan kepemimpinan. Ketiga, komponen output seperti : prestasi belajar siswa, prestasi guru dan kepala sekolah, dan prestasi sekolah.
    Bahkan di masa kini sekolah yang telah berstatus SSN tersebut adalah sekolah yang telah memenuhi atau setidaknya mendekati untuk memenuhi SNP sebagaimana tertuang dalam PP Nomor : 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut setiap sekolah yang dinyatakan baika dalah yang telah memenuhi SNP yang meliputi :

  • standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

  • standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

  • standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

  • standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.

  • standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

  • standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

  • standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun;

  • standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.


  • Marilah kebanggaan kita bergelar SSN jangan sampai melenakan kita kepada suatu hal yang bisa berujung euphoria belaka sehingga melupakan tuntutan yang membentang di hadapan kita sebagai sekolah yang harus menjadi panutan. Selamat berjuang SSN.

    Sekolah Gratis Bukan Tanpa Biaya

    Tiap penerimaan murid atau peserta didik baru pada awal tahun pelajaran selalu memunculkan persoalan yang terkait dengan pungutan dan jalur khusus, terutama di tingkat SLTP dan SLTA. Tahun lalu, pungutan bagi murid baru yang dikemas sebagai sumbangan pada tingkat SLTP saja mencapai jumlah jutaan rupiah.
    Apalagi yang termasuk sekolah favorit. Nilai sumbangan tersebut bahkan disalahartikan oleh sebagian orang tua calon murid sebagai penentu diterima atau tidak. Hal itu menimbulkan cap jelek, yakni komersialisasi pendidikan. Artinya, hanya anak orang berduit yang berhak memperoleh pendidikan bermutu.
    Selain sumbangan, jalur khusus yang diberlakukan secara kurang transparan kian menjauhkan sekolah dari nilai-nilai pendidikan yang bermuara pada keluhuran budi dan intelektualitas. Dalam praktik, jalur tersebut memberi kesempatan kepada anak-anak yang kecerdasannya biasa-biasa saja tetapi orang tuanya mampu secara materi. Ada pula jalur khusus berupa bina lingkungan, atau dikenal dengan istilah "bilung", yaitu menyediakan kursi bagi anak-anak guru di sekolah bersangkutan. Apa pun tujuannya, praktik-praktik tersebut akan mengurangi peluang calon murid lainnya yang sebenarnya memenuhi standar kemampuan.

    Bercermin dari kejadian pada tahun lalu yang diwarnai kekacauan dan protes, tahun ini segala pungutan dan jalur khusus di Kota Semarang dihapuskan. Kebijakan tersebut pantas disambut gembira sebagai upaya meluruskan dan menempatkan fungsi pendidikan pada posisi sesungguhnya. Pungutan yang dibalut dengan nama sumbangan cenderung menjadi bola liar. Jika tidak segera dikendalikan, akan merugikan dunia pendidikan dan masyarakat. Sangat dimungkinkan situasi demikian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi dengan berkedok institusi pendidikan tempat mereka berkiprah.
    Masalahnya, sekolah akan sulit berkembang dan maju kalau hanya mengandalkan bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. Dana-dana tersebut sangatlah terbatas, dan rata-rata hanya bisa memenuhi kebutuhan standar baik berupa sarana dan prasarana fisik maupun yang lain. Berarti, kalau hanya mengandalkan anggaran itu, sekolah tidak memiliki cukup keleluasaan bergerak. Misalnya tidak mampu menyediakan laboratorium yang memadai, gedung yang layak, serta kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi peserta didik.

    Kesimpulannya, sekolah-sekolah masih membutuhkan sumbangan supaya bisa menyediakan sarana dan prasarana yang layak bagi muird-muridnya. Syukur-syukur tidak sekadar layak, tetapi yang terbaik. Sumbangan tersebut bersifat tidak mengikat baik jumlah maupun waktu. Jadi harus dibedakan dari pungutan yang jelas-jelas telah dilarang. Sumber sumbangan itu bisa dari orang tua atau wali murid, bisa pula dari kalangan luar sekolah, misalnya swasta. Ada pula beberapa sekolah, khususnya swasta yang merintis kerja sama dengan yayasan atau sekolah di luar negeri. Langkah seperti itu dapat ditiru oleh sekolah negeri.

    Betul pernyataan Wali Kota Semarang Mahfudz Ali bahwa sekolah gratis bukan tanpa biaya. Pembebasan biaya berlaku atas komponen-komponen tertentu, contohnya uang gedung dan penyelenggaraan pendidikan. Tetapi kalau menyangkut ekstrakurikuler dan item pengembangan lain, tetap ada biayanya. Untuk itulah dibutuhkan sumbangan, baik dari orang tua murid maupun pihak luar. Penting dikeluarkan ketentuan yang mengatur sumbangan agar tidak menjadi bola liar. Misalnya berapa batasan nilainya, pihak-pihak atau lembaga mana saja yang boleh menyumbang, transparansi penggunaan, pelaporan, dan sebagainya.
    Sumber : suaramerdeka.com

    Agar Pungutan Sekolah Tak Ada Lagi

    Kekurangan dana BOS bisa ditutup dari bantuan pemerintah maupun dari sumbangan masyarakat.

    Pemerintah selama ini berusaha meneguhkan komitmen untuk menuntaskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun. Salah satu komponen utamanya melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, belum semua sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pendidikan gratis bagi siswa miskin.

    Meski sudah ada BOS, masih ada siswa yang tetap dihantam berbagai pungutan pendidikan. Modusnya, pungutan itu bersifat sukarela dan tidak dipaksakan. Bahkan sebagian besar kepala sekolah memanfaatkan keberadaan komite sekolah untuk melegalkan pungutan tersebut.

    ‘’Memang masih ada sekolahsekolah yang mengatur pertemuan komite sekolah untuk membahas pungutan. Seolaholah hasil keputusan komite sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah,’‘ tutur Didik Suhardi, Direktur Pendidikan SMP Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Didik Suhardi, belum lama ini.

    Padahal, kata Didik, dengan adanya BOS seharusnya sekolah tidak lagi melakukan pungutan pendidikan kepada siswa. Sebab hampir semua komponen yang dibutuhkan sudah bisa ditutupi dengan dana BOS yang ada, termasuk bantuan pendamping dari pemerintah daerah setempat.

    Didik tentu tak sedang mengada-ada. Namun ada alasan meng apa pungutan kadang masih dilakukan. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Baidowi melalui Manajer Program BOS Sugiarto mengungkapkan, bagi sekolah, terutama SMP swasta di wilayahnya, sering kali dana BOS yang diberikan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah. ‘’Padahal pemasukan dari siswa terbatas atau bahkan tidak ada,’‘ ujarnya.

    Sugiarto mengatakan, siswa di SMP swasta memang sangat sedikit sehingga mereka tetap berusaha menarik pu ngut an melalui komite sekolah. Jumlah SMP swasta di kabupaten Kediri, lanjut dia, mencapai 47 buah sementara siswa penerima BOS sebanyak 5.983 siswa. Semen tara SMP negeri jumlahnya 50 buah dengan jumlah siswa penerima BOS 38.117siswa.

    Kondisi tersebut, kata Sugiarto, menyebabkan SMP swasta melalui komite sekolah masih kerap menarik pungutan. ‘’Tapi dengan murid yang sedikit dan pungutan besar, biasanya seleksi alam, sekolah itu tak akan diminati dan terancam bangkrut,’‘ jelasnya.

    Di sisi lain, kata Sugiarto, rekapitulasi data penerima dana BOS di Kabupaten Kediri pada Januari hingga Maret 2009 mencapai total 777 lembaga (663 buah SD dan 114 buah SMP). ‘’Dan jumlah total penerima BOS 170.523 siswa dengan total dana BOS mencapai Rp 18, 879 miliar,’‘ cetusnya.

    Sugiarto mengungkapkan, sela ma ini permasalahan yang terjadi di lapangan adalah penggunaan dana BOS terbatas hanya yang tertera secara eksplisit dalam buku pedoman BOS. Padahal, lanjut dia, kegiatan di luar bu ku pedoman yang menunjang ke giatan peningkatan mutu pendidikan masih banyak. Misalnya, honor wakil kepala sekolah, wali kelas, urusan lain-lain yang meru pakan tugas tambahan guru.

    Tak hanya di Kediri. Di Malang, komite sekolah SD dan SMP selama ini juga kerap menarik pungutan. Menurut M Fahaza, aktivis Malang Budgeting Watch, ketika PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan belum keluar, sekolah bisa bebas menarik dana dari masya ra kat.

    ‘’Apapun alasannya, sekolah bisa dengan leluasa menarik dana masyarakat,’‘ ungkapnya. Kondisi berbeda seratus delapan puluh derajat, saat PP No 48/2008 keluar. Sekolah, utamanya penyelenggara pendidikan dasar dilarang menarik dari masyarakat secara sembarangan. Kalau toh ada pungutan, sifatnya tidak mengikat dan harus melalui audit keuangan. ‘’Inilah yang menyebabkan keuangan sekolah saat ini guncang,’‘ ujar Fahaza.

    Menurut Fahaza, kalangan komite sekolah saat ini sedang kebingungan. Untuk langsung memungut dari masyarakat, tentu sulit. Jika sekolah nekat, diyakini bakal muncul dampak yang sangat beragam. Apalagi bila orang tua siswa memberi komentar beragam kepada khalayak ketika ditarik sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dan sumbangan bantuan pe ngembangan pendidikan (SBPP) oleh sekolah. ‘’Inilah faktor terbesar yang membuat mereka mengaku kekurangan biaya operasional,’‘ jelasnya.

    Dalam pertemuan komite sekolah Kota Malang di Aula SMKN 2 Kota Malang Februari 2009 lalu, komite mengaku ada kekurangan dana operasional. Namun, mereka tak berani menarik dari orang tua siswa. Mereka akhirnya meminta solusi dari Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM) maupun Depdiknas.

    Prediksinya, kata Fahaza, untuk operasional, sebenarnya dana BOS cukup. Kalau toh tidak cukup, angkanya tidak banyak. Kekurangan bisa ditutup dari bantuan pemerintah mau pun dari sumbangan masyara kat. ‘’Kalau operasional saja, enteng bagi sekolah. Tetapi ka lau ternyata misalnya untuk bayar utang sekolah, puluhan bahkan ratusan juta, ini yang jadi beban berat,’‘ jelasnya.

    Namun di sisi lain, Gubernur Gorontalo Fadel Mohammad mengatakan, dana BOS tidak da pat untuk menggratiskan semua komponen biaya operasional pendidikan. Oleh karena itu, perlu ada tambahan dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menutupi kekurangan dana BOS tersebut.

    ‘’BOS memang tidak bisa untuk menggratiskan semua komponen biaya operasional pendidikan. Perlu ada tambahan dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menutupi kekurangan dana tersebut,’‘ ujar Fasel di sela-sela wisuda Universitas Terbuka, di Tangerang, beberapa waktu lalu.

    Menurut Fadel, dana BOS dari pe merintah pusat ha nya bisa menutupi 15 persen kom ponen pendidikan. Karena itu, pemerintah daerah masih harus menutupi kekurangan da na tersebut. Fadel juga menam bahkan, sebaiknya pemerintah daerah diberi kepercayaan untuk me ngelola dana BOS. ‘’Pusat tinggal buat target saja,’‘ ujar Fadel.

    Ia menambahkan, ada tiga persoalan yang dihadapi ma syarakat yang tinggal di kawasan Indonesia Timur. Persoalan tersebut adalah guru-guru SD di sana masih banyak belum berkualifikasi S1, masih banyak PNS yang belum berkualitas dan masih banyak masyarakat yang ingin bekerja di sektor swasta tetapi tidak memenuhi syarat karena tidak tamat SMA.

    Sementara itu, Koordinator Education Forum, Suparman menyatakan, meskipun sejumlah sekolah merasakan bahwa dana BOS dapat membantu meringankan biaya pendidikan yang ditang gung masyarakat, tetapi tetap saja belum mampu menanggulangi beban biaya pendidikan secara menyeluruh. ‘’Masih banyak sekolah dan peserta didik masih harus menang gung biaya pungutan lain misalnya pembelian buku pelajaran yang tidak tersedia di sekolah,’‘ ungkapnya.

    Dalam konteks pengelolaan dana sekolah, kata Suparman, menghindari korupsi perlu dilakukan dengan berbagai aktivitas yang berujung pada perubahan watak dan sikap pendidik di tingkat satuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, ada ruang komunitas sekolah melahirkan sikap tegas menolak korupsi melalui program yang mengandung unsur pendidikan karakter, watak, maupun nilai.

    Tindakan konkretnya, kata Su parman, kepala sekolah sebagai garda depan birokrasi pendidikan bersedia mengajak orangtua siswa menyusun kebijakan sekolah, khususnya anggar an penerimaan dan belanja sekolah. Melalui langkah ini, lan jut Suparman, seluruh sumber penerimaan dan alokasi belanja sekolah terlihat jelas. ‘’Sekolah harus membuang jauh bah wa ia adalah penguasa pungutan,’‘ tegasnya.
    sumber : Republika Online
    ======= Guru adalah Jabatan Profesional, Mengemban dan Melaksanakannya adalah Pengabdian kepada Allah SWT, Bangsa dan Negara, serta Generasi Penerus Bangsa======