Kekurangan dana BOS bisa ditutup dari bantuan pemerintah maupun dari sumbangan masyarakat.
Pemerintah selama ini berusaha meneguhkan komitmen untuk menuntaskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun. Salah satu komponen utamanya melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, belum semua sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pendidikan gratis bagi siswa miskin.
Meski sudah ada BOS, masih ada siswa yang tetap dihantam berbagai pungutan pendidikan. Modusnya, pungutan itu bersifat sukarela dan tidak dipaksakan. Bahkan sebagian besar kepala sekolah memanfaatkan keberadaan komite sekolah untuk melegalkan pungutan tersebut.
‘’Memang masih ada sekolahsekolah yang mengatur pertemuan komite sekolah untuk membahas pungutan. Seolaholah hasil keputusan komite sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah,’‘ tutur Didik Suhardi, Direktur Pendidikan SMP Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Didik Suhardi, belum lama ini.
Padahal, kata Didik, dengan adanya BOS seharusnya sekolah tidak lagi melakukan pungutan pendidikan kepada siswa. Sebab hampir semua komponen yang dibutuhkan sudah bisa ditutupi dengan dana BOS yang ada, termasuk bantuan pendamping dari pemerintah daerah setempat.
Didik tentu tak sedang mengada-ada. Namun ada alasan meng apa pungutan kadang masih dilakukan. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Baidowi melalui Manajer Program BOS Sugiarto mengungkapkan, bagi sekolah, terutama SMP swasta di wilayahnya, sering kali dana BOS yang diberikan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah. ‘’Padahal pemasukan dari siswa terbatas atau bahkan tidak ada,’‘ ujarnya.
Sugiarto mengatakan, siswa di SMP swasta memang sangat sedikit sehingga mereka tetap berusaha menarik pu ngut an melalui komite sekolah. Jumlah SMP swasta di kabupaten Kediri, lanjut dia, mencapai 47 buah sementara siswa penerima BOS sebanyak 5.983 siswa. Semen tara SMP negeri jumlahnya 50 buah dengan jumlah siswa penerima BOS 38.117siswa.
Kondisi tersebut, kata Sugiarto, menyebabkan SMP swasta melalui komite sekolah masih kerap menarik pungutan. ‘’Tapi dengan murid yang sedikit dan pungutan besar, biasanya seleksi alam, sekolah itu tak akan diminati dan terancam bangkrut,’‘ jelasnya.
Di sisi lain, kata Sugiarto, rekapitulasi data penerima dana BOS di Kabupaten Kediri pada Januari hingga Maret 2009 mencapai total 777 lembaga (663 buah SD dan 114 buah SMP). ‘’Dan jumlah total penerima BOS 170.523 siswa dengan total dana BOS mencapai Rp 18, 879 miliar,’‘ cetusnya.
Sugiarto mengungkapkan, sela ma ini permasalahan yang terjadi di lapangan adalah penggunaan dana BOS terbatas hanya yang tertera secara eksplisit dalam buku pedoman BOS. Padahal, lanjut dia, kegiatan di luar bu ku pedoman yang menunjang ke giatan peningkatan mutu pendidikan masih banyak. Misalnya, honor wakil kepala sekolah, wali kelas, urusan lain-lain yang meru pakan tugas tambahan guru.
Tak hanya di Kediri. Di Malang, komite sekolah SD dan SMP selama ini juga kerap menarik pungutan. Menurut M Fahaza, aktivis Malang Budgeting Watch, ketika PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan belum keluar, sekolah bisa bebas menarik dana dari masya ra kat.
‘’Apapun alasannya, sekolah bisa dengan leluasa menarik dana masyarakat,’‘ ungkapnya. Kondisi berbeda seratus delapan puluh derajat, saat PP No 48/2008 keluar. Sekolah, utamanya penyelenggara pendidikan dasar dilarang menarik dari masyarakat secara sembarangan. Kalau toh ada pungutan, sifatnya tidak mengikat dan harus melalui audit keuangan. ‘’Inilah yang menyebabkan keuangan sekolah saat ini guncang,’‘ ujar Fahaza.
Menurut Fahaza, kalangan komite sekolah saat ini sedang kebingungan. Untuk langsung memungut dari masyarakat, tentu sulit. Jika sekolah nekat, diyakini bakal muncul dampak yang sangat beragam. Apalagi bila orang tua siswa memberi komentar beragam kepada khalayak ketika ditarik sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dan sumbangan bantuan pe ngembangan pendidikan (SBPP) oleh sekolah. ‘’Inilah faktor terbesar yang membuat mereka mengaku kekurangan biaya operasional,’‘ jelasnya.
Dalam pertemuan komite sekolah Kota Malang di Aula SMKN 2 Kota Malang Februari 2009 lalu, komite mengaku ada kekurangan dana operasional. Namun, mereka tak berani menarik dari orang tua siswa. Mereka akhirnya meminta solusi dari Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM) maupun Depdiknas.
Prediksinya, kata Fahaza, untuk operasional, sebenarnya dana BOS cukup. Kalau toh tidak cukup, angkanya tidak banyak. Kekurangan bisa ditutup dari bantuan pemerintah mau pun dari sumbangan masyara kat. ‘’Kalau operasional saja, enteng bagi sekolah. Tetapi ka lau ternyata misalnya untuk bayar utang sekolah, puluhan bahkan ratusan juta, ini yang jadi beban berat,’‘ jelasnya.
Namun di sisi lain, Gubernur Gorontalo Fadel Mohammad mengatakan, dana BOS tidak da pat untuk menggratiskan semua komponen biaya operasional pendidikan. Oleh karena itu, perlu ada tambahan dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menutupi kekurangan dana BOS tersebut.
‘’BOS memang tidak bisa untuk menggratiskan semua komponen biaya operasional pendidikan. Perlu ada tambahan dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menutupi kekurangan dana tersebut,’‘ ujar Fasel di sela-sela wisuda Universitas Terbuka, di Tangerang, beberapa waktu lalu.
Menurut Fadel, dana BOS dari pe merintah pusat ha nya bisa menutupi 15 persen kom ponen pendidikan. Karena itu, pemerintah daerah masih harus menutupi kekurangan da na tersebut. Fadel juga menam bahkan, sebaiknya pemerintah daerah diberi kepercayaan untuk me ngelola dana BOS. ‘’Pusat tinggal buat target saja,’‘ ujar Fadel.
Ia menambahkan, ada tiga persoalan yang dihadapi ma syarakat yang tinggal di kawasan Indonesia Timur. Persoalan tersebut adalah guru-guru SD di sana masih banyak belum berkualifikasi S1, masih banyak PNS yang belum berkualitas dan masih banyak masyarakat yang ingin bekerja di sektor swasta tetapi tidak memenuhi syarat karena tidak tamat SMA.
Sementara itu, Koordinator Education Forum, Suparman menyatakan, meskipun sejumlah sekolah merasakan bahwa dana BOS dapat membantu meringankan biaya pendidikan yang ditang gung masyarakat, tetapi tetap saja belum mampu menanggulangi beban biaya pendidikan secara menyeluruh. ‘’Masih banyak sekolah dan peserta didik masih harus menang gung biaya pungutan lain misalnya pembelian buku pelajaran yang tidak tersedia di sekolah,’‘ ungkapnya.
Dalam konteks pengelolaan dana sekolah, kata Suparman, menghindari korupsi perlu dilakukan dengan berbagai aktivitas yang berujung pada perubahan watak dan sikap pendidik di tingkat satuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, ada ruang komunitas sekolah melahirkan sikap tegas menolak korupsi melalui program yang mengandung unsur pendidikan karakter, watak, maupun nilai.
Tindakan konkretnya, kata Su parman, kepala sekolah sebagai garda depan birokrasi pendidikan bersedia mengajak orangtua siswa menyusun kebijakan sekolah, khususnya anggar an penerimaan dan belanja sekolah. Melalui langkah ini, lan jut Suparman, seluruh sumber penerimaan dan alokasi belanja sekolah terlihat jelas. ‘’Sekolah harus membuang jauh bah wa ia adalah penguasa pungutan,’‘ tegasnya.
sumber : Republika Online