Banggalah Jadi Seorang Guru
Umar Bakri, begitu dulu sosok guru digambarkan, sosok yang mengalami kepahitan hidup karena bekerja sebagai guru. Pengabdian dan kerja keras tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Demikian kondisi ini berlangsung berpuluh tahun lamanya. Bahkan hingga kini pun masih masih banyak guru yang secara materi maupun non materi belum mendapat sesuatu yang berharga sebagai balasan jasanya mengabdi dan bekerja sebagai guru.
Bagi sebagian orang guru bahkan terjangkiti suatu beban kejiwaan sebagai seseorang yang under estimated. Bahkan tidak sedikit malu bila menyebut diri sebagi guru. Tidak jarang masyarakat memanggil seorang guru dengan memanggilnya dengan kata “guru”, “pak guru”, “bu guru” dan sebagainya panggilan sejenis dengan nada yang kurang nyaman di telinga. Menjadi seorang guru terasa kurang nyaman.
Namun kini seiring perubahan zaman yang semakin maju diberbagai aspek kehidupan. Terlebih berkembangknya ilmu pengetahuan dan teknologi. Wawasan dan pola pikir berubah maju selangkah lebih baik. Terlebih ketika kemajuan berfikir ini telah di miliki para elit dan para pengambil kebijakan. Salah satu dampak yang sangat positif lahirnya berbagai paying hukum yang melindungi dan meningkat harkat dan martabat guru. Kini senyum lebar terkembang kebanggaan menjadi guru memenuhi ruang dada para guru kita.
Profesionalisme Guru Profesional
Profesionalisme guru kini menjadi isu sentral dunia pendidikan kita. Pembicaraan mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru "belum percaya diri" menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti "tak bisa" menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para profesional di bidang yang lain.
Memang benar pekerjaan yang disebut profesi idealnya memiliki kedudukan lebih baik dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004).
Bila kta membnding profesi guru dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim diketahui bahwa untuk menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing. Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Hal sebagai upaya penjamin mutu dari profesi yang dijalankan.
Lalu, bagaimanakan proses pencekat profesi guru di negeri ini ? Di negara kita, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak sarjana kita setelah gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap "lebih baik".
Selanjutnya, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang lulus dari LPTK.
Bila kita adakan perbandingan kesejahteraan yang diperoleh dari menjalani profesi yang ada, maka perbedaannya akan semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp. 200.000 per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?
Dalam catatan Baskoro Pudjinugroho pada Kompas diungkap kembali berita dari dunia pendidikan yang begitu menggetarkan: pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.
Hal menarik, yang juga dikemukakan oleh Prof Nanang Fatah, yaitu bahwa pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya (Kompas, 9/12/05). Berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan. Mengenaskan. Bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru menjadi profesional?
Saatnya Membngkitkan Profesionlisme dari Berbagai Sisi
Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian muncul. Banyak pihak berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi tonggak bersejarah untuk bangkitnya profesi ini menjadi profesi mulia yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah profesi yang tak hanya dihargai dengan ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi sebuah profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya.
Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.
Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru ini, pemerintah telah merencanakan akan melakukan program sertifikasi guru dalam waktu dekat. Seperti yang dikatakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal bahwa pemerintah sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk sertifikasi para guru, dan diharapakan dalam enam bulan telah keluar PP dan telah ditunjuk LPTK penyelenggara sertifikasi. Setelah itu, dilangsungkan pendidikan profesi serta uji sertifikasi bagi para guru yang sudah sarjana (Kompas, 27/02/2006)
Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa yang meyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri maupun swasta.
Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang undang yang menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran negara ke sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa kepada kualitas dunia pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru yang profesional secara khusus. Serta kebanggaan menyandang profesi guru yang akan melahirkan suasana kerja yang beretos tinggi merasakan kesetaraan dengan profesi lainnya. Sebuah kebangga yang ditunggu oleh semua pihak.
(dari berbadai sumber)