Tiap penerimaan murid atau peserta didik baru pada awal tahun pelajaran selalu memunculkan persoalan yang terkait dengan pungutan dan jalur khusus, terutama di tingkat SLTP dan SLTA. Tahun lalu, pungutan bagi murid baru yang dikemas sebagai sumbangan pada tingkat SLTP saja mencapai jumlah jutaan rupiah.
Apalagi yang termasuk sekolah favorit. Nilai sumbangan tersebut bahkan disalahartikan oleh sebagian orang tua calon murid sebagai penentu diterima atau tidak. Hal itu menimbulkan cap jelek, yakni komersialisasi pendidikan. Artinya, hanya anak orang berduit yang berhak memperoleh pendidikan bermutu.
Selain sumbangan, jalur khusus yang diberlakukan secara kurang transparan kian menjauhkan sekolah dari nilai-nilai pendidikan yang bermuara pada keluhuran budi dan intelektualitas. Dalam praktik, jalur tersebut memberi kesempatan kepada anak-anak yang kecerdasannya biasa-biasa saja tetapi orang tuanya mampu secara materi. Ada pula jalur khusus berupa bina lingkungan, atau dikenal dengan istilah "bilung", yaitu menyediakan kursi bagi anak-anak guru di sekolah bersangkutan. Apa pun tujuannya, praktik-praktik tersebut akan mengurangi peluang calon murid lainnya yang sebenarnya memenuhi standar kemampuan.
Bercermin dari kejadian pada tahun lalu yang diwarnai kekacauan dan protes, tahun ini segala pungutan dan jalur khusus di Kota Semarang dihapuskan. Kebijakan tersebut pantas disambut gembira sebagai upaya meluruskan dan menempatkan fungsi pendidikan pada posisi sesungguhnya. Pungutan yang dibalut dengan nama sumbangan cenderung menjadi bola liar. Jika tidak segera dikendalikan, akan merugikan dunia pendidikan dan masyarakat. Sangat dimungkinkan situasi demikian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi dengan berkedok institusi pendidikan tempat mereka berkiprah.
Masalahnya, sekolah akan sulit berkembang dan maju kalau hanya mengandalkan bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. Dana-dana tersebut sangatlah terbatas, dan rata-rata hanya bisa memenuhi kebutuhan standar baik berupa sarana dan prasarana fisik maupun yang lain. Berarti, kalau hanya mengandalkan anggaran itu, sekolah tidak memiliki cukup keleluasaan bergerak. Misalnya tidak mampu menyediakan laboratorium yang memadai, gedung yang layak, serta kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi peserta didik.
Kesimpulannya, sekolah-sekolah masih membutuhkan sumbangan supaya bisa menyediakan sarana dan prasarana yang layak bagi muird-muridnya. Syukur-syukur tidak sekadar layak, tetapi yang terbaik. Sumbangan tersebut bersifat tidak mengikat baik jumlah maupun waktu. Jadi harus dibedakan dari pungutan yang jelas-jelas telah dilarang. Sumber sumbangan itu bisa dari orang tua atau wali murid, bisa pula dari kalangan luar sekolah, misalnya swasta. Ada pula beberapa sekolah, khususnya swasta yang merintis kerja sama dengan yayasan atau sekolah di luar negeri. Langkah seperti itu dapat ditiru oleh sekolah negeri.
Betul pernyataan Wali Kota Semarang Mahfudz Ali bahwa sekolah gratis bukan tanpa biaya. Pembebasan biaya berlaku atas komponen-komponen tertentu, contohnya uang gedung dan penyelenggaraan pendidikan. Tetapi kalau menyangkut ekstrakurikuler dan item pengembangan lain, tetap ada biayanya. Untuk itulah dibutuhkan sumbangan, baik dari orang tua murid maupun pihak luar. Penting dikeluarkan ketentuan yang mengatur sumbangan agar tidak menjadi bola liar. Misalnya berapa batasan nilainya, pihak-pihak atau lembaga mana saja yang boleh menyumbang, transparansi penggunaan, pelaporan, dan sebagainya.
Sumber : suaramerdeka.com