Meneladani "Tugas Guru" dari Rasululah SAW
Dalam kacamata kita sebagai guru, kita telah memiliki pemahaman bagaimana menjadi seorang guru yang baik. Apa tugas pokok dan fungsi seorang guru. Guna menetapkan hal ini bahkan pemerintah telah memberikan garis-garis tugas seorang guru agar setiap guru memiliki kejelasan akan tugas yang diembannya. Banyak sudah produk hukum yang diterbitkan guna mengatur kedudukan dan tugas seorang guru atau pendidik.
Dan guna memperkaya diri dalam mengembangkan sikap profesioanl seorang guru, maka bagi seorang muslim alangkah baiknya meneladani dan mencontoh bagaimanakah menjadi menjadi guru yang baik dalam kacamata sebagai seorang muslim pengikut Nabi Muhammad SAW.
Dalam bahasa Arab, guru disebut al-mu’allim. Kata al-mu’allim merupakan ism fail dari kata ‘allama yu’allimu, artinya transfer ilmu atau mengajar. Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa tugas para nabi adalah mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah (wa yu’allimuhul kitaaba wal hikmah). Allah berfirman: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran : 164). Dan dari ayat ini setidaknya ada tiga tugas pokok seorang rasul yang bisa dijadikan pegangan oleh setiap guru atau pendidik (murabbi):
Pertama: Membacakan ayat-ayat Allah (tilawah). Maksud ayat-ayat Allah: (a) ayaatullah al-masyhuudah (ayat-ayat Allah yang nampak di alam semesta). Di sini seorang guru harus juga mempunyai wawasan keilmuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan nya. Tentu dalam hal ini sangat dianjurkan untuk menggunakan tehnologi sebagai sarana yang paling efektif untuk menjelaskan hal tersebut. (b) ayaatullah al-matluwah (ayat-ayat Allah yang terbaca dalam Al-Qur’an). Di sini seorang guru harus juga mempunyai wawasan tentang wahyu. Lebih dari itu ia juga harus mempunyai iman yang kuat, sebab dari iman yang kuat pesan-pesan wahyu akan mudah dipahami secara mendalam. Sungguh, tidak sedikit murid yang salah paham tentang maksud Al-Qur’an, karena sang guru yang mengajarkannya tidak beriman. Itulah rahasia mengapa ulama terdahulu selalu mensyaratkan kebersihan jiwa untuk mendapatkan ilmu Allah swt. Sebab ilmu Allah adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak mungkin bersenyawa dengan para pendosa. Dari semua itu kita paham bahwa seorang guru tidak lain hanya mentransfer ajaran wahyu agar regenerasi kehambaan kepada Allah – sebagai Pemilik langit dan bumi – terus berlanjut.
Kedua: Membersihkan jiwa (tazkiyah). Kata tazkiyah dalam Al-Qur’an sangat penting kedudukannya. Allah swt. Mengulang-ulang kata tersebut sebagai keniscayaan untuk mencapai kepatuhan sejati. Ketika Nabi Musa as. diperintahkan untuk berdakwah kepada Firaun, Allah memerintahkan agar pertama-tama mengajaknya melakukan tazkiyah. Allah berfirman dalam surah An-Nazi’at, 18: “Faqul hallaka ilaa an tazakkaa (dan katakanlah (kepada Firaun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan).” Imam Abu Saud dalam tafsirnya, menjelaskan beberapa dimensi tazkiyah: (a) Pembersihan jiwa dari penyakit hati: sombong, dengki, hasad dan lain sebagainya. Berbagai maksiat dilakukan karena kesombongan. Firaun mengaku tuhan karena perasaannya yang menipu, sehingga ia merasa hebat. Seorang guru harus bekerja keras untuk membersihkan penyakit-penyakit hati semacam ini. (b) Pembersihan jiwa dari aqidah yang salah. Sebab kesalahan aqidah akan sangat mempengaruhi kesalahan perilaku. Banyak orang yang tulus ingin berbuat baik, namun karena aqidahnya salah, perilakunya malah membawa malapetaka bagi kemanusiaan. (c) Pembersihan jiwa dari dosa. Karena setiap dosa menyebabkan kekerasan hati. Bila hati keras maka segala kebaikan tidak akan masuk. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah:74 : “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
Ketiga: Mengajarkan Al-Qur’an (kitab) dan sunnah (hikmah). Maksudnya menyampaikan pesan wahyu secara utuh baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Di sini ada penekanan pentingnya menggabung antara Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam pengajaran. Sebab antara kedua sumber ini saling melengkapi dan saling menjelaskan. Tidak mungkin seorang paham Al-Qur’an dengan benar tanpa merujuk kepada sunnah, sebab banyak dalam Al-Qur’an panduan-panduan global yang sangat membutuhkan penjelasan As-Sunnah. Contoh perintah shalat, dalam Al-Qur’an hanya berupa teks : “Tegakkanlah shalat”, tetapi bagaimana caranya secara detail terdapat dalam As-Sunnah. Itulah rahasia mengapa Rasulullah saw. Bersabda: shalluu kamaa ra aitumuunii ushalli (shalatlah kalian sebagaimana aku shalat).
Bila ditarik garis merah antara ketiga point di atas, kita akan menemukan bahwa point pertama lebih bermakna sebagai upaya membangun persepsi melalui tilawah, namun tilawah ini tidak cukup tanpa dilengkapi dengan tazkiyah, sebab dengan tazkiyah rohani akan hidup. Maka dengan hidupnya, akan tergerak kan secara otomatis untuk melakukan tugas mulia yaitu at-ta’lim. Ini semua menunjukkan betapa mulianya seorang guru karena tugasnya. Dan betapa dekatnya tugas seorang guru dengan tugas-tugas kenabian. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber : dakwatuna